|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Kematian dari keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Bapa akan melahirkan kehidupan ilahi. Itulah satu-satunya harta abadi kita sebagai umat tebusan di Langit Baru dan Bumi Baru. |
|
|
|
|
|
 |
|
DITULIS OLEH |
|
Bp. Gunawan Laksmana |
|
Kontributor |
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Kematian Yang Menghidupkan |
|
Kematian Yang Menghidupkan |
|
Jumat, 15 Desember 2017 |
|
|
|
 |
|
Kematian Yang Menghidupkan |
|
Kolose 3:1-4 |
|
|
|
|
|
|
Adalah rancangan Tuhan untuk memiliki umat yang mempunyai kepribadian seperti Anak Tunggal-Nya. Ini adalah agenda utama Bapa dengan karya keselamatan di dalam Tuhan Yesus. Mendidik manusia menjadi umat tebusan yang kudus, mengenakan kehidupan ilahi [Titus 2:13-14]. Rasul Paulus mengingatkan bahwa kita telah mati dan hidup tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Yang dimaksud mati tentunya bukan mati dalam arti jasmani dan dikubur, tetapi mati dari keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Kematian diri ini tidak menghilangkan kehendak bebas, namun kehendak bebas hanya diarahkan untuk melakukan keinginan Bapa, melalui penyangkalan diri terus menerus. Hal ini berarti rela kehilangan “hak hidup”, umpama hak memiliki kehormatan, hak dihargai, hak diperlakukan adil dan sebagainya.
Kematian dari segala keinginan ini akan melahirkan kehidupan ilahi, yaitu karakter Kristus di dalam dirinya. Kehidupan Anak Allah diperagakan dalam hidup kita. Paulus tel...selengkapnya » |
Adalah rancangan Tuhan untuk memiliki umat yang mempunyai kepribadian seperti Anak Tunggal-Nya. Ini adalah agenda utama Bapa dengan karya keselamatan di dalam Tuhan Yesus. Mendidik manusia menjadi umat tebusan yang kudus, mengenakan kehidupan ilahi [Titus 2:13-14]. Rasul Paulus mengingatkan bahwa kita telah mati dan hidup tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Yang dimaksud mati tentunya bukan mati dalam arti jasmani dan dikubur, tetapi mati dari keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Kematian diri ini tidak menghilangkan kehendak bebas, namun kehendak bebas hanya diarahkan untuk melakukan keinginan Bapa, melalui penyangkalan diri terus menerus. Hal ini berarti rela kehilangan “hak hidup”, umpama hak memiliki kehormatan, hak dihargai, hak diperlakukan adil dan sebagainya.
Kematian dari segala keinginan ini akan melahirkan kehidupan ilahi, yaitu karakter Kristus di dalam dirinya. Kehidupan Anak Allah diperagakan dalam hidup kita. Paulus telah memberi teladan dengan mengatakan, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalamku“ [Galatia 2:19-20].
Kita sebagai umat pilihan Perjanjian Baru telah menjadi milik Kristus dan diberi hak istimewa, potensi dan kesempatan, untuk menggenapi rencana-Nya, menjadi sempurna dan berkenan kepada Tuhan. Hal ini yang oleh Tuhan Yesus dikatakan sebagai mengumpulkan harta di surga [Matius 6:20]. Jadi untuk memiliki kehidupan ilahi harus ada kesadaran pribadi untuk berusaha secara maksimal mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar [Filipi 2:12]. Hal ini tidak bisa dilakukan dengan setengah hati secara sambilan, tetapi harus dengan sepenuh hati mempertaruhkan hidup tanpa batas, baik tenaga, pikiran, waktu dan segala hal yang ada pada diri kita. Untuk itu perlu membuang hal lain yang dianggap lebih menarik dan lebih bernilai, yaitu kesenangan dunia, mamon dan segala fasilitasnya [Filipi 3:7-8]. Inilah perlombaan iman yang diwajibkan [Ibrani 12:1].
|
|
|
|
|
|
Mengikuti jejak Yesus
1 Petrus 2:21, 23
[21] Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.
[23] Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.
Saat ini kita hidup di tengah zaman dimana orang suka saling mencaci maki. Melalui media sosial orang saling mengungkapkan kebenciannya. Dalam dunia nyata juga orang saling mencaci maki. Caci maki dibalas dengan caci maki. Bahkan para tokoh dan pejabatpun, yang seharusnya menjadi panutan buat masyarakat, saling mencaci maki. Kehidupan menjadi bising dan tidak nyaman karena penuh dengan ungkapan kebencian, hujatan, dan makian.
Hidup di tengah zaman seperti ini bagaimanakah kita menyikapinya?
Kristus telah memberikan suatu teladan bagi kita. Ketika Dia diperlakukan dengan kejam, dibully, dihina, disiksa, disakiti, Dia tidak membalas. Dia menanggung semua itu dengan sikap rela. Dia sadar akan apa yang sedang Dia lakukan. Dia sedang menjalankan sebuah pekerjaan penebusan. Dia sedang menanggung penderitaan bagi banyak orang, termasuk saudara dan saya. Dia tahu bahwa apa yang Dia kerjakan akan mendatangkan keselamatan dan kesembuhan bagi banyak orang. Karena itu Dia tidak mau membalas perlakuan orang atas diri-Nya.
Kadang kita ketemu dengan orang yang egois dan tidak mau tahu perasaan orang lain. Orang itu melakukan hal-hal yang menyakitkan. Bagaimana kita meresponnya? Kecenderungan manusiawi kita tentu saja adalah membalas.
Tindakan membalas tidak menyelesaikan persoalan. Tindakan membalas akan menghasilkan tindakan membalas juga. Balas membalas. Tindakan balas membalas apapun bentuknya, entah pertengkaran, pertikaian, percekcokan, maupun peperangan, akan berujung pada kehancuran di kedua belah pihak. Pertengkaran selalu menyisakan kebencian dan sakit hati yang semakin dalam. Apalagi peperangan mengakibatkan hancurnya peradaban.
Tuhan Yesus memberikan sebuah teladan cara mengatasi tindakan kebencian, yaitu dengan memberikan pengampunan. Pengampunan adalah suatu cara yang ampuh untuk mematahkan kebencian. Di Minggu Paskah ini marilah kita belajar mengikuti jejak Yesus. Amin.
Pdt. Goenawan Susanto
|
|
|
|
|
|
|
Kita ditebus dari cara hidup yang sia-sia dengan harga yang sangat mahal [I Petrus 1:18-19]. Karya Keselamatan yang dilaksanakan oleh Yesus adalah rancangan agung Bapa begitu manusia jatuh dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Penebusan salib ini menggenapi kasih dan rasa keadilan Bapa. Pengorbanan yang dipikul oleh Yesus bukan suatu sandiwara, tapi suatu hal yang sangat serius, melibatkan pertaruhan sangat dahsyat bagi Bapa maupun Yesus sebagai pelaksananya. Untuk melaksanakan misi Bapa-Nya, Yesus [sebagai manusia] telah sungguh-sungguh berjuang untuk taat mutlak kepada Bapa. Situasi di taman Getsemani menjelang Yesus ditangkap menggambarkan perjuangan tersebut [Matius 26 : 37 - 38]. Puncak perjuangannya bisa disaksikan pada saat Dia berseru: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku” dan “Yesus berseru dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya [Matius 27:46 dan 50].
Acara peringatan Paskah dengan berbagai drama, pemutaran “The Passion of Christ”, memang bisa menimbulkan rasa iba, simpati dan empati, emosi kesedihan muncul sampai mengeluarkan air mata. Tentunya tidak salah berempati terhadap Yesus. Namun menyambut Paskah tidak cukup hanya dengan simpati dan empati. Yesus sendiri mengatakan “ …, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu !”[Lukas 23:28]. Bagi Yesus tugas penebusan yang diemban-Nya sudah tuntas pada saat Dia mengatakan “sudah selesai” [Lukas 19 : 30]. Dia sudah berjuang dan menang [Ibrani 5:7].
Sebagai umat tebusan, kita harus menghargai pengorbanan Yesus, yang tidak cukup dilakukan dengan perkataan, nyanyian yang kita naikkan bagi-Nya. Tapi harus dimulai dengan sikap hati yang menghargai Pribadi dan pengorbanan-Nya. Diikuti dengan perjuangan sungguh-sungguh untuk menggenapi tujuan anugerah penebusan diberikan, yaitu manusia dikembalikan / dipulihkan pada rancangan semula Bapa, menjadi serupa dengan Penciptanya, memiliki kemuliaan Allah, diubah dari kodrat dosa menjadi kodrat illahi, sempurna seperti Bapa, kudus dan tidak bercacat dihadapan-Nya [Efesus 1:4].
|
|
|
|
|
|
|
|
Saat seseorang melontarkan ide yang dianggapnya “cemerlang” dengan antusias, penuh semangat membara bisa saja tiba-tiba menjadi lunglai, lesu. Mengapa ??? Karena ternyata tidak ada yang mendukung ide cemerlangnya itu bahkan tidak sedikit yang mencelanya. Semangatnya seolah bersayap, terbang meninggalkan dirinya, mulutnya terkunci tak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata sanggahan. Peristiwa semacam ini sering terjadi bahkan mungkin kita sendiri pernah mengalaminya.
Lain halnya dengan Bartimeus, si pengemis buta anak Timeus yang selalu duduk di pinggir jalan mengharap berkat dari orang-orang yang lewat. Walau buta dia tipe orang yang pantang menyerah, selalu semangat.
Suatu hari Yesus keluar dari Yerikho bersama-sama para murid dan orang banyak yang berbondong-bondong yang tentu saja membuat suasana menjadi sangat ramai dan menarik perhatian Bartimeus. Ketika Bartimeus mendengar bahwa yang lewat itu adalah Yesus dari Nazaret, serta merta dia berteriak, berseru kepada Yesus untuk mengasihaninya [ayat 47]. Banyak orang merasa tidak nyaman dengan teriakannya itu dan menegurnya supaya diam. Namun larangan itu tidak membuatnya putus asa !! Bartimeus tetap semangat, dia berseru semakin keras untuk minta belas kasihan Yesus [ayat 48]. Yesus menghentikan langkah-Nya, meminta mereka memanggil Bartimeus [ayat 49]. Dengan segera dia berdiri, pergi menjumpai Yesus dan ketika Yesus menanyakan apa yang diinginkannya, tanpa ragu Bartimeus menjawab dia ingin dapat melihat. [ayat 50,51]. Di akhir kisah ini kita tahu Yesus membuat Bartimeus “si buta” dapat melihat kembali karena imannya kepada Yesus dari Nazaret yang diakuinya sebagai “Rabuni/Guru” dan ditinggalkannyalah pekerjaannya sebagai pengemis, mengikuti perjalanan Yesus [ayat 52].
Bagaimana dengan kita? Dalam perjalanan hidup kita, baik di keluarga, pekerjaan bahkan mungkin dalam pelayanan begitu banyak tantangan seakan merintangi bahkan kadang “menjegal” yang membuat kita putus asa, kehilangan semangat.
Mari kita belajar dari Bartimeus “si buta” yang selalu semangat dan menghargai sang Rabuni yang memberinya kesempatan untuk dapat melihat dengan cara mengikuti-Nya ke mana sang Guru pergi.
Semangat !!!!
Amin.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BARCODE BBM CHANNELS |
|
 |
|
 |
|
|
|