|
SEPEKAN TERAKHIR |
|
|
|
POKOK RENUNGAN |
|
|
|
Langkah awal untuk menjadi terang, dimulai dari kemauan kita untuk menjadi terang. |
|
|
|
|
|
|
Renungan Lain oleh Penulis: |
|
|
|
|
|
|
|
|
Home » Renungan » Kisah Sebuah Lilin |
|
Kisah Sebuah Lilin |
|
Jumat, 13 Desember 2019 |
|
|
|
|
|
Kisah Sebuah Lilin |
|
Lukas 10:25-37 |
|
|
|
|
|
|
Suatu sore, seorang pria mengambil sebatang lilin kecil dari sebuah kotak dan mulai mendaki tangga yang panjang dan melingkar-lingkar. “Kita mau ke mana?” Tanya lilin itu. “Kita akan naik lebih tinggi dari rumah untuk memberi petunjuk jalan ke pelabuhan kapal-kapal.” “Tapi tak ada satu kapal pun di pelabuhan yang bisa melihat cahaya saya”. “Cahayaku sangat kecil.” kata lilin itu. Kemudian pria itu pun berkata, “jika cahayamu kecil, tetaplah menyala dengan terang, lalu biarlah saya yang akan mengurus bagaimana selanjutnya.” Ketika mereka mencapai puncak tangga itu, mereka tiba pada sebuah lampu yang besar. Kemudian pria itu menyalakan lampu itu dengan lilin tadi. Dengan serta-merta kaca pemantul yang ada di belakang lampu itu mengirimkan cahaya sampai jauh ke tengah laut.
Sadarkah bahwa kita sering berlaku seperti lilin dalam kisah di atas. Saat Tuhan meminta kita untuk bercahaya [baca: berdampak] bagi sesama, selalu diliputi rasa pesimis atau bahkan tidak mau untuk menjalankannya. Berbagai alasan kita lontarkan untuk menolak ajakan Tuhan tersebut. Mulai dari ungkapan “aku tidak bisa”, “aku in...selengkapnya » |
Suatu sore, seorang pria mengambil sebatang lilin kecil dari sebuah kotak dan mulai mendaki tangga yang panjang dan melingkar-lingkar. “Kita mau ke mana?” Tanya lilin itu. “Kita akan naik lebih tinggi dari rumah untuk memberi petunjuk jalan ke pelabuhan kapal-kapal.” “Tapi tak ada satu kapal pun di pelabuhan yang bisa melihat cahaya saya”. “Cahayaku sangat kecil.” kata lilin itu. Kemudian pria itu pun berkata, “jika cahayamu kecil, tetaplah menyala dengan terang, lalu biarlah saya yang akan mengurus bagaimana selanjutnya.” Ketika mereka mencapai puncak tangga itu, mereka tiba pada sebuah lampu yang besar. Kemudian pria itu menyalakan lampu itu dengan lilin tadi. Dengan serta-merta kaca pemantul yang ada di belakang lampu itu mengirimkan cahaya sampai jauh ke tengah laut.
Sadarkah bahwa kita sering berlaku seperti lilin dalam kisah di atas. Saat Tuhan meminta kita untuk bercahaya [baca: berdampak] bagi sesama, selalu diliputi rasa pesimis atau bahkan tidak mau untuk menjalankannya. Berbagai alasan kita lontarkan untuk menolak ajakan Tuhan tersebut. Mulai dari ungkapan “aku tidak bisa”, “aku ini tidak berpendidikan”, “aku ini masih muda”, “apa aku bisa?”, hingga sampai pada ungkapan “aku sibuk dan tidak ada waktu”. Semua kita lontarkan untuk menghindari perintah dan ajakan Tuhan.
Kita adalah lilin Allah. Tugas kita adalah bersinar terus, dan kegunaan kita ada di tangan-Nya. Apa yang harus kita kerjakan? Yang harus dikerjakan adalah cukup dengan berkemauan untuk berdampak dan membuat diri berdampak. Bagaimana proses dan caranya, itu adalah bagian dari rencana Tuhan. Dia pasti punya rencana dan cara-Nya bagi kita, untuk membuat berdampak bagi lingkungan sekitar.
Lihatlah kisah tentang orang Samaria dalam Lukas 10:25-37. Untuk menjadi berdampak, modalnya adalah kemauan. Dalam kisah yang diceritakan Yesus, Orang Samaria yang dianggap sebagai “golongan yang dijauhi” pada masa itu, justru dapat menunjukkan hidup yang berdampak dibanding imam atau pun orang lewi, yang notabene pada masa itu merupakan golongan terpandang. Untuk menjadi berdampak tidak dibatasi oleh usia, suku, golongan, ras, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Semua orang bisa menjadi dampak bagi lingkungannya, asalkan ada kemauan. Bagaimana dengan kita?
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
FOLLOW OUR INSTAGRAM |
|
|
|
|
|
|
|